Why Hunger Bank || The Invisible Heroes
- Admin
- Mar 1, 2016
- 3 min read

Malam ini aku keluar lagi, ke salah satu cafe yang paling hip di Kota Bandung saat ini. Dengan lampu yang temaram, interior mewah, dan jendela yang dipenuhi kaca, aku menikmati santap malam dengan teman-teman terdekat. Hari itu aku memesan steak kesukaan, harganya sedikit mahal. Ah, biarlah, kita harus menikmati momen-momen ini bukan? Beserta minuman yang – aku tahu – sangat overpriced karena minuman ini hanya terbuat dari kemasan sachet yang menjadi mahal karena cangkir dan sedotan lucu.
Tapi dari kaca transparan di jendela aku bisa melihat, seorang pemulung yang sedang membawa karung untuk memungut apapun yang bisa dijual. Ia mengenakan pakaian yang sangat kumal, sandalnya sangat tipis bahkan sudah sobek di bagian belakang, rambutnya kusut seperti belum dicuci, dan kemanapun ia berjalan, sepertinya tak ada yang peduli. Sepertinya tak ada yang bisa melihat dia. Atau, tak ada yang mau.
Lalu aku berpikir pada diri sendiri. Di sini, di kafe ini, aku menghamburkan ratusan ribu untuk seporsi makanan bagi diriku sendiri. Yang pada akhirnya pun akan menjadi – maaf – tahi. Itu pun kadang tak selalu habis. Aku melirik beberapa meja di samping kanan dan kiri. Ada makanan-makanan yang disisakan, mungkin karena tak suka, mungkin karena kenyang.
Tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah kita lebih memilih menghamburkan uang untuk makan di kafe-kafe yang hits dibandingkan menolong orang yang mungkin belum makan seharian. Aku berpikir pada diri sendiri, apakah bapak tadi sudah makan? Apakah ia bisa makan dengan layak? Atau hanya makan dari mengais-ngais sampah? Atau hanya makan sekali sehari? Apakah dia punya keluarga untuk dihidupi? Dari seratus dua ratus rupiah, apakah ia mampu membawa penghidupan yang layak untuk keluarganya?
Ya ampun, hatiku trenyuh. Kalo aku boleh jujur, ya Tuhan, betapa aku ingin membagikan yang aku punya untuk bapak pemulung yang tadi. Betapa ingin aku membelikan dia 5 bungkus nasi beserta lauknya, supaya hari ini dia tidak perlu mengais sampah lagi. Harganya tak seberapa, dibandingkan membayar ratusan ribu di kafe yang bahkan pemiliknya tak aku kenali. Aku ini, hanya menyumbangkan ratusan ribu rupiah ke konglomerat-konglomerat yang sudah punya 3 mobil dan 4 rumah. Yang sudah mapan, yang hartanya tak habis dimakan 7 turunan. Sementara uang dengan jumlah yang sama bisa dipakai untuk menghidupi orang lain yang lebih membutuhkan.
Sederhana. Sederhana sekali. Kejadian seperti itu sudah terjadi berulang kali. Setiap kali aku naik mobil, makan di kafe, membeli baju baru, pikiranku kembali melayang pada bapak pemulung itu. Bagaimana bisa kamu berfoya-foya ketika masih ada orang yang bahkan untuk hidup pun harus mengais-ngais sampah setiap malam?
Maka, jujur, dari dasar itulah, aku ingin mengajak semuanya untuk membatasi hedonisme kita dalam menghambur-hamburkan uang untuk memenuhi nafsu sementara. Aku percaya kok, makan di kafe seharga 200.000 dengan makan di rumah makan seharga 20.000 hasilnya sama, mereka semua akan jadi kotoran. Mereka semua cuma singgah mengantarkan gizi pada tubuh, sebelum lenyap selamanya. Aku percaya kok, nafsu sementara adalah hal yang paling susah dikendalikan. Tapi aku juga percaya bahwa semua dimulai dari kebiasaan dan pola pikir. Jadi kalau kita mau, kita pasti bisa!
Bagiku, pemulung yang aku jumpai di tengah malam adalah the invisible heroes! Tak ada yang melihat mereka, tak ada yang peduli, tak ada yang menggubris, bahkan untuk bicara dengan mereka pun tak ada yang mau. Mereka invisible. Tapi bukan berarti mereka tak nyata. Mereka NYATA, dan mereka BUTUH bantuan. Berapa kali kita bicara tentang pentingnya mengolah sampah? Ratusan kali! Tapi berapa kali kita sungguh-sungguh memisahkan sampah organik, anorganik, dan yang bisa didaur ulang? Pemulung-pemulung ini, adalah satu-satunya kaum di Indonesia yang benar-benar melakukan daur ulang sampah. Mereka bukan melakukannya untuk save the planet, atau jargon-jargon indah lain yang tanpa bukti. Mereka melakukannya karena..mereka tidak punya apa-apa lagi. Karena mereka harus makan. Aren't they the invisible heroes?
Jadi, aku menggagas sebuah proyek berjudul The Hunger Bank. Ini adalah sebuah organisasi non-profit yang bertujuan untuk mengurangi angka kelaparan dan membantu orang-orang yang kesulitan mendapatkan makanan yang layak. Kami ingin meminta bagi siapapun, baik rumah tangga, restoran, maupun hotel, yang memiliki makanan berlebih, untuk bisa menyumbangkan makanan itu untuk kita bagikan ke kaum yang paling membutuhkan. Tidak ada ruginya kok. Daripada kita membiarkan makanan itu membusuk di tong sampah, atau membusuk di kulkas, atau bahkan dibiarkan berhari-hari, lebih baik kita sumbangkan untuk mengisi perut-perut kelaparan yang tak punya uang untuk membeli nasi. Percayalah, makanan berlebih yang kita anggap remeh, itu adalah berkat tersendiri bagi mereka. Itu bahkan bisa jadi adalah makanan layak pertama yang mereka makan hari itu.
Ini saatnya berbagi, dan percaya.. Bahwa kita bisa membantu orang lain, mulai dari diri kita sendiri.
One man’s leftovers is another man’s blessing
For further info regarding The Hunger Bank,
Please follow us in Instagram @hungerbank. Support us by giving us your photos with the hashtag #Isupporthungerbank
Comments